" Kamar Psikolog Cantik "

Cast : Lillian Wesley & Eleanor Bowie.


“Terlalu banyak yang saya rasakan. Kadang, saya merasa sedih dan marah. Di satu sisi, saya harus mengerti itu semua. Tapi di sisi lain, saya kadang merasa sangat kecewa dengan semua pilihan yang memberatkan saya. Bahkan di sisi terakhir pun, diam, bukan menjadi sebuah pilihan, tapi hanya waktu untuk sejenak beristirahat. Rasanya seperti akan meledak, tanpa tahu apa yang mau meledak.”

“Dan perasaan itu masih muncul sampai sekarang?”


“Kadang-kadang, tidak sesering dulu.”


“Apa yang membuat perasaan itu berkurang? Apa yang membuat saat ini berbeda dengan dulu?”


Lillian bungkam. Gadis itu tahu kemana arah pembicaraannya dengan Eleanor berujung. Pasalnya, cerita panjang mereka sore ini cukup membuat mereka saling terbuka. Tidak. Lebih tepatnya, hanya Lillian. Disini hanya dia dan ketenangannya yang melebihi air yang berubah menjadi es, yang membuat orang lain begitu peduli padanya. Hingga mencuatlah sebuah nama dalam pikiran Lillian yang ia hindari sejak dulu.


Tiba-tiba Eleanor meletakkan rubiknya diatas kertas berisi data ‘rentang kisah’ milik Lillian Wesley.


“Ingin secangkir coklat panas, Miss Wesley?”


Lillian mengangguk singkat tanpa tersenyum. Eleanor berdiri dan membuatkan minuman Lillian di pantry yang tidak jauh dari meja kerjanya. Keheningan pun tercipta. Hanya ada suara air dispenser dan dentingan sendok yang mengenai cangkir. Tak lama, Eleanor kembali dan memberikan secangkir coklat panas kepada Lillian sambil berdiri.


“Awas, hati-hati, itu panas.”


Eleanor berjalan mendekati jendela dibelakang kursi kerjanya. Dia menatap keluar dan sesekali menyeruput coklat panasnya. Kedua tangannya menangkup cangkir demi menjalarkan kehangatan. Sangat kontras dengan apa yang terjadi di luar gedung rumah sakit itu.


“Ku kira, kita bisa membuat sebuah kesepakatan mulai sekarang, Miss Wesley.”


Lillian tetap diam menanti kesepakatan apa yang akan ditawarkan Eleanor kepadanya. Eleanor tetap menatap ke luar jendela.


“Kamu boleh tidak menjawab pertanyaan saya, asalkan bilang kalau kamu tidak ingin menjawabnya, bukan seperti kemarin dan yang baru saja. Dan tentunya, saya tidak akan memaksa kamu.”


Sikap Eleanor ini yang membuatnya berbeda dan membuat Lillian nyaman. Ketegangan yang semula tersisa separuh, kini telah habis tak tersisa.


“Oke.”


Eleanor tersenyum teduh kembali. Iris hazel itu menangkap sesosok pria yang berada di parkiran mobil di depan rumah sakit itu. Pria tambun yang baru saja keluar dari mobil sedan tuanya dan memakai payung kecil berwarna merah muda milik anak bungsunya. Eleanor mengenal jelas pria itu.


Ryan Gregory. Pria yang digadang-gadang akan mengubah nama belakang Eleanor menjadi Gregory, beberapa tahun lalu. Namun sayang, Ryan malah melepaskannya dan menyetujui perjodohan bisnis dari Nyonya Gregory, Ibunda Ryan.


“Apa kabarnya Nyonya Wesley?”


“Ibu? Dia baik. Sangat baik untuk membuat saya datang kesini. Lagi.”


Eleanor tertawa renyah. Dia memicingkan mata dan menatap Lillian kali ini.


“Begitu?”


“Ya, Miss Bowie.”


“Saya tebak, dia mengatakan ‘ini yang terakhir kalinya, sayang, ibu berjanji’. Benar?”


Lillian mengangguk antusias. Dia menyunggingkan senyum singkatnya. Tentunya, Eleanor menangkap pergerakan itu.


“Hari jumat ini, bisa kita bertemu lagi, Miss Wesley? Saya ingin mengajak Milo bermain dengan River-mu. Sejak senin kemarin, saya terlalu sibuk untuk mengajaknya keluar sekedar turun dari apartemen dan berlari untuk menghirup udara segar. Bersama River, akan membuat Milo bersemangat dan mengibaskan ekornya senang. Interaksi. Itu sangat baik untuk kesehatan mereka.”


“Tidak masalah.”







//   T H E   E N D //

Komentar

Ter-populer