" Ingatan Dalam Jingga "

Cast : Takahiro Kenja & Aimee Yuki.


Aroma secangkir coklat panas itu menyapa indra penciuman Aimee. Gadis manis itu mendekap cangkir itu dengan kedua tangannya. Ia mencoba menyalurkan panas. Karena tadi, dirinya sempat terkena hujan saat berada di dekat kafe tersebut. Sebuah kafe bertema klasik milik kakak satu-satunya itu.

Di sebelahnya, duduk seorang seorang pria dewasa dan memeluk Aimee dengan lengan kanan pria tersebut. Kenja duduk terdiam bersama Aimee dalam sebuah sofa berbahan beludru berwarna coral itu. Bahkan tangan kiri pria itu tengah sibuk membalas sebuah pesan dari tunangannya yang sedang merajuk.

"Bang Ke, tau nggak, kenapa awan itu warnanya hitam?"

"Nggak."

Kenja menjawab cepat. Bahkan saat tangan Aimee sedang berada di angin, saat gadis itu ingin menunjuk gumpalan awan hitam di sebuah kaca besar, di depan mereka duduk. Aimee berdecak.

"Kenapa sih, tiap hujan, awannya gelap gitu?"

"Takdir."

Aimee berdecak kembali.

"Harusnya, sore ini, awannya cerah. Niat pulang sekolah kesini buat nonton sunset di rooftop, eh malah ujan. Nggak asik."

Rajuk Aimee dengan sesekali menyeruput coklat panasnya. Kenja bungkam. Bahkan tangannya pun ikut terdiam. Pelan tapi pasti, wajahnya terangkat dan menatap awan hitam dan hujan dari balik kaca tembus pandang di depannya.

"Menurut gue, bagus kok. Nenangin gini."

Aimee memutar bola matanya. Gadis itu tidak habis pikir dengan cara kerja otak kakaknya itu.

"Warnanya nggak banget gini, bang. Bagus apanya, coba? Aturan tuh, warna-warna sore sunset gitu. Biar aura nyaman dan santai itu bisa bikin otak refresh, bang."

"Hitam juga bagus. Jingga, apalagi."

"Kan... Ai bilang, juga apa..."

Mereka terdiam cukup lama, hingga kepala Aimee semakin bersandar di bahu lebar Kenja.

"Hitam, jingga, dan putih. Salah tiga warna yang gue suka, di dunia ini dan sampai saat ini."

"Alasannya?"

Kenja mengedikkan bahunya. Dengan gerakan pelan, dia mengambil secangkir kopi espresso di meja, di depannya. Kopi yang sebentar lagi akan dingin, karena sedari tadi tidak tersentuh olehnya. Bahkan aroma kopinya pun kalah oleh aroma coklat panas milik adik kecilnya. Mungkin, jika dia melupakan kopi itu dalam sepuluh menit lagi, kopi itu akan berubah dingin, karena terbantu oleh AC di ruang kerjanya itu. Ia meminumnya habis dalam sekali teguk.

"Nggak tau aja. Rasanya, tiap gue buka mata di pagi hari, warna putih-lah yang dulu menyapa. Itu cahaya lampu. Dan nggak lama, berubah jadi warna pagi seperti pagi pada umumnya. Trus jingga, warna yang tiba-tiba gue suka, sejak kali pertama Poppy ngajak gue ke pantai dekat rumah eyangnya. Waktu gue SMP."

"Pasti, itu sore hari."

"Ya. Sejak saat itu juga, setelah kepergian Poppy, gue tetep suka mereka. Jingga dan Poppy."

"Trus, warna hitam?"

"Warna yang bikin gue nyaman, calming and refreshing, selama 28 tahun gue hidup. Tepat sebelum gue tidur. Mungkin, bersyukur untuk satu hari yang udah gue lewati? Ah... bahkan tiap hari gue ngelakuin itu, Ai. Berharap, esoknya gue masih bisa lihat warna putih. Say hi, trus ngilang, dan berganti jadi jingga."

"Dan kenangan Poppy?"

Kenja menggeleng lemah. Ia sedikit menunduk dan menerawang jauh.

"Cuma kenangannya aja, Ai. Sayangnya, Poppy gak akan bisa balik ke dunia kita. Bahkan, sejak 5 tahun lalu, terakhir kali gue jenguk dia berobat di Singapura, seminggu kemudian dia balik ke Indo. Poppy Zoey. Dia balik tinggal nama, Ai. Gue kalut banget. Harusnya, gue tetep disana dan ngundurin meeting itu. Gue ngelihat dia udah dalam peti. Cantik. Dia tersenyum, Ai. Senyum terakhir yang gue lihat dari dia. Senyum yang sama, selama gue kenal dia. Sejak SD. Dia sahabat terbaik gue."

"And, she's your first love?"

"Ya. She’s my first love, my first date, and my first priority. Gue bela-belain waktu itu, tengah malem ke taman komplek buat dia. Dia nangis kejer ke gue gara-gara bokap nyokapnya. Dia selalu merasa di nomer duakan, bahkan sampe kayak adopted child. Tapi nyatanya, dia anak pertama dan anak kandung bokap nyokapnya. Dia merasa jadi bayang-bayang di kehidupan keluarganya. Nggak dianggep. Kalo pun dianggep, ujung-ujungnya dia dimarahin lagi."

"Kok orang tuanya gitu, sih, bang?"

Kenja menghela nafasnya panjang. Perasaannya kembali terbayang oleh penderitaan yang Poppy alami. Rasa kecewa, marah, dan sedih berkubang kenjadi satu.

"Mana gue tau alasannya apa? Poppy kadang cuma nangis, kadang juga cuma bilang ‘papa mama ngebandingin aku sama Shanin lagi’. Dan tiap gue tanya, papa mama dia ngebandingin apa dan gimana lagi, dia cuma nge-geleng trus nangis makin parah. Padahal setahu gue, dia orangnya ceria banget, Ai."

"Trus, respon Bang Ke?"

"Meluk dia, lah. Karna cuma gue satu-satunya temen yang dia punya sampai akhir hayatnya."

"Really?"

Kenja mengagguk samar. Dirinya dan Aimee terdiam. Diatas meja yang berada di hadapan mereka, sebuah panggilan masuk melalui ponsel pintar Kenja. Panggilan dari tunangan tersayangnya.

"You know, dia selalu merasa rendah diri, Ai."

Ucap lemah Kenja. Namun matanya tetap mengarah ke ponsel pintarnya. Ia tersenyum sinis, kala nama yang tertera, beberapa kali melakukan panggilan kepadanya, namun ia hiraukan. Mereka terdiam cukup lama.

"Trus Bang Ke sekarang, apa kabar?"

"Look at me, now. Seperti yang lo lihat, gue biasa aja. Gak perlu nanggepin semua dengan berlebihan. Karna Poppy gak suka hal yang berlebihan."

"Jangan bilang, ini ada urusannya sama Bang Ke yang tunangan sama Kak Shanin?"

"Seratus. Lo pinter."

Aimee menaikkan salah satu alisnya. Dia tersentak dan segera menatap horor kakaknya. Matanya memicing tajam.

"Balas dendam?"

"Bukan. Itu berlebihan banget, kayaknya. Gue cuma 'bermain' sama dia aja, Ai."

"Hell... Alamat ngeri-ngeri sedep, nih! Tapi yang aku lihat kok, Bang Ke cinta banget sama Kak Shanin? Kayak ngejar dia banget, gitu."

Kenja bungkam. Ia tengah memikirkan kata-kata yang tepat untuk pertanyaan adik bawelnya ini. Bahkan, untuk ukuran Kenja dan kedua orang tuanya yang terbilang pendiam, Aimee sangatnya cerewet. Adik kecil yang terpaut 10 tahun darinya ini, semakin bawel setiap pertambahan angka di lilin ulang tahunnya itu.

"Totalitas, Ai. Shanin aja nggak tahu gue siapa. Poppy juga nggak pernah ngenalin kita. Dan Shanin, dia juga nggak tahu kalo gue ternyata datang dari masa lalunya. Trust me, gue udah cari tahu semua itu sebelum gue sama Shanin deket. Pertemuan yang gue sengaja desain agar terlihat apik ‘tanpa disengaja’ antara gue dan Shanin."

"OMG!!! TRUS, KAPAN DRAMANYA MULAI?!!"

"Soon. Tepat sehari, setelah ulang tahun Shanin besok. Empat hari lagi, and I’ll start the game."

"Gilak! Hati-hati karma, loh, bang."

Kenja mengedikkan bahunya. Ia mengambil ponselnya dan menjawab panggilan yang telah masuk untuk kesekian kalinya. Dia men-loudspeaker.

"Ya, Sayang, ada apa?"

"Kamu dimana, Baby? Bukannya kamu udah janji mau ke rumahku, trus dinner bareng?"

"Iya, tapi nanti jam tujuh malem. Sekarang, aku lagi di kafe bareng Yuki. Dia lagi curhat tentang pacar barunya, Sayang."

Aimee menatap Kenja tajam. Pasalnya, disini selalu ia yang menjadi tumbal kakaknya.

"Oh, oke! Salam buat Yuki, ya, my baby. Bye! And, see you later!"

"Oke, Honey."

Kenja mematikan sambung teleponnya. Senyum merekahnya muncul. Dia menggeleng cepat. Tangan kanan Kenja mengusap sayang kepala Aimee yang berada di sebelah kanan tubuh Kenja. Sedikit lama. Kemudian, dengan usilnya, tangan kanannya menyentil gemas kening Aimee.

"AW!!! SAKIT, BANG KE!!!"

"Nggak. Itu bukan karma gue, tapi jelas karma Shanin. Gue pastiin itu."




//   T H E   E N D   //

Ter-populer